Dalam mengisi momen bulan puasa Ramadan ini, salah satu aktivitas yang dianjurkan adalah membaca dan menghafal Al-Qur’an. Tapi, tahukan Parents, bagaimana cara mengajarkan anak mudah menghafal Al-Qur’an?
Sebelum kita bahas bagaimana caranya, yuk kita simak penjelasan ilmiah dari dr. Aisah Dahlan, CMHt mengenai seluk-beluk otak.
Menurut dr. Aisah, tubuh seorang manusia dipengaruhi lingkungan saat di dalam rahim, masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Saat tubuh yang dikoordinasikan oleh otak, kalbu dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
“Kalau bicara mengenai otak, Allah Ta’ala menciptakan otak besar dan otak kecil. Otak terletak di bagian atas kepala dan dilindungi oleh berbagai lapis pelindung, termasuk tulang tengkorak,” jelasnya.
Nah, lanjut dr. Aisah, di dalamnya ada neuron atau sel-sel otak. Neuron ini bentuknya sangat kecil sekali dan jumlahnya kurang lebih 100 miliar. Satu sel otak seprti satu komputer yang tercanggih di zamannya. Misalnya, generasi milenial dan generasi Z, sama-sama memiliki 100 miliar sel otak tapi kecanggihannya berbeda. Adapun neuron ini menyimpan data dan informasi.
Selanjutnya, antara neuron ini akan tersambung melalui ‘kabel-kabel’. Jadi bayangkan, seperti laptp yang tersambung ke setop kontak atau tersambung dengan laptop atau gawai lainnya. Jadi, sambungan-sambungan ini merupakan koneksi antara neuron, saling menyambung membentuk memori atau ingatan.
“Tapi sambungan ini bukan sambungan yang fisii, tidak menempel antara kabel. Tapi sambungan ini akan mengeluarkan zat kimia yaitu neurotransmitter, seperti lem. Maka boleh jadi ketika anak di sekolah, gurunya sama, pelajarannya sama, tapi daya tangkap setiap anak berbeda-beda. Ini dipengaruhi oleh keluarnya zat kimia tadi. Zat kimia yang keluar ini, banyak atau sedikitnya dipengaruhi oleh nutrisi dan emosi,” jelas dr. Aisah.
Terkait nutrisi atau gizi tentunya diharapkan anak mendapatkan kecukupan gizi sesuai usianya. Kemudian mengenai emosi, kalau kita memelajari sesuatu atau mengelami sebuah peristiwa dengan perasaan dan pikiran dengan nuansa emosi positif, maka neurotransmitter yang keluar akan positif. Demikian, sebaliknya. Bila reaksi emosi yang muncul adalah berupa kekesalan, kemarahan, kesedihan, maka yang neurotransmitter yang keluar akan negatif.
Dokter Aisah juga menjelaskan, neutrotransmitter ini keluarnya cepat berbentuk seperti listrik. Di otak banyak sekali sambungan ‘listrik’. Bahkan dalam satu detik, ada sekitar dua juta sambungan listrik yang bisa terjadi.
Nah, ketika anak mendengarkan, melihat, merasakan, terjadi sambungan-sambungan listrik yang membentuk memori atau ingatan. Kalau anak baru pertama kali mendengar, membaca atau melihat sesuatu, maka sambungan listriknya masih tipis. Tapi, kalau hal itu dilakukan secara berulang-ulang, maka sambungan listriknya akan menjadi tebal.
“Itulah konsep dalam dunia pendidikan. Begitu juga dalam membaca atau menghafal Al-Qur’an, intinya adalah pengulangan, repetisi atau murojaah. Memang otak paling dahsyat. Teknik murojaah itu diulang-ulang. Maka para ulang meminta kita untuk mengulang-ulang setiap ayat agar terbentuk sambungan ‘kabel’ yang tebal sehingga tetap dapat diingat dalam memori,” tuturnya.
Bahkan, kata dr. Aisah, kalau kemudian belajar tentang makna ayat-ayat Al-Qur’an, maka aka nada sambungan ‘listrik’ yang baru lagi. Sehingga, nanti setiap ayat Al-Qur’an bukan sekadar dihafal tapi ada memori-memori baru berupa pemahaman makna dan arti dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalkan. Kemudian, bisa diaplikasikan untuk kehidupan sehari-hari di dunia,” papar dokter.
Termasuk dalam mempelajari hal lain, lanjutnya, konsepnya adalah koneksi antara neuron-neuron, termasuk ketika anak belajar menghafal Al-Qur’an.
“Di otak ada yang namanya sistem syaraf. Kabel-kabel syaraf ini berjalan di tulang belakang disebut sumsum tulang belakang. Lalu, kabel-kabel ini berjalan ke wajah, leher, dan ke seluruh badan berupa syaraf tepi perifer. Nah, sistem syaraf ini seperti kabel listrik. Dengan mengetahui hal ini, kita menjadi tahu betapa Allah Ta’ala menciptakan tubuh kita dengan komplet dan detail sekali,” ungkapnya.
Kalau otak diisi dengan hafalan Al-Qur’an dimana neuron menangkap melalui ucapan, penglihatan, pendengaran, dan gerakan. Maka pesan yang dibaca akan berjalan menuju otak dan tersimpan menjadi memori di otak.
Lalu, dari otak tersebut, diperintahkan ke seluruh tubuh sehingga tubuh melakukan Tindakan atau perilaku. Jadi, amalan yang dilakukan akan sesuai dengan isi otak manusia.
Karena itulah, sebisa dan semaksimal mungkin anak dikenalkan dengan Al-Qur’an. Setelah belajar menghafal ayat-ayat, ditingkatkan dengan memahami maknanya sehingga kelak menjadi pegangan hidup dan membentuk perangai atau perilaku anak di kemudian hari.
Selain itu, dr Aisah juga menyarankan untuk memutarkan bacaan Al-Qur’an setiap saat. Mendengarkan Al-Qur’an secara konsisten dapat membantu otak anak. Jika anak sering mendengar bacaan Al-Qur’an maka secara langsung ia akan belajar menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.***
0 Comments