Parents, berpuasa di bulan Ramadan ini menjadi momen yang pas untuk makin mengasah dan meningkatkan ibadah kepada Allah Ta’ala sehingga meraih spiritual happiness.
Spiritual happiness adalah rasa syukur atas kebahagian dan kedamaian yang datang dari dalam diri. Hal ini mewujud berupa perilaku positif, selalu berusaha melakukan kebaikan, baik untuk diri dan lingkungan.
Menurut Sharon Janis, spiritual happiness adalah rasa damai yang sangat mendalam dan kokoh, yang ditunjukkan dengan keinginan kuat untuk melakukan segala hal yang membawa kebaikan dengan penuh cinta,
“Spiritual happiness tidak dicari atau tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal, namun datang dari dalam diri sebagai hasil pembelajaran agama/kepercayaan/keyakinan yang mengajarkan untuk selalu bersyukur dan berusaha dengan baik serta, menyerahkan hasil akhir kepada Sang Pencipta,” papar Hanny Muchtar Darta, Certified EI, PSYCH-K, SET, parenting consultant dan full spectrum coach dari Radani Center.
PERAN AGAMA DALAM POLA ASUH
Hasil penelitian terhadap 326 orang dewasa menunjukkan, peran atau pengaruh agama terhadap spiritual happiness sangat signifikan, yaitu sebesar 79%. Ya, agama menjadi landasan untuk menjadi “coping strategy” karena manusia memiliki keyakinan adanya Sang Pencipta. Bahwa semua mahluk hidup di dunia ini sama-sama hasil ciptaan Allah.
Nah, spiritual happiness bisa tumbuh dan berkembang pada anak jika agama dijadikan landasan dalam pola asuh.Spiritual happiness adalah hasil pembelajaran yang diberikan orangtua dan pendidik, dimulai dari rumah dengan memberikan landasan agama, ditambah pembelajaran di sekolah.
Bila hal tersebut dilakukan, diharapkan anak-anak dapat merefleksikan perilaku spiritual happiness. Di antaranya dalam berupa:
-Menyayangi dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan keunikannya sehingga selalu ingin merawat dan menjaga dirinya dengan baik
-Menghargai dirinya sendiri
-Memiliki rasa percaya diri tinggi
-Selalu bersyukur atas apapun yang terjadi dan mengambil pelajaran untuk menjadi lebih baik
-Menghargai perbedaan
-Mampu bekerja sama dengan baik
-Optimis
-Melakukan sesuatu dengan sepenuh hati
-Berempati
-Selalu memiliki pilihan dalam hidup
-Selalu berusaha melakukan sesuatu yang berdampak positif untuk diri dan lingkungannya.
Nah, ketika agama dijadikan landasan dalam pola asuh positif, hal ini akan menjadikan fondasi yang kuat untuk membangun “imunisasi mental” sehingga anak kelak akan menjadi sosok yang kuat dan tangguh.
PENTINGNYA EMOTIONAL INTELLIGENCE
Dalam prakteknya, sebenarnya spiritual happiness merupakan gabungan dari pemahaman yang diperoleh dari pengetahuan agama serta Emotional Intelligence (EI) sebagai pendekatan yang diterapkan orangtua dalam pola asuh.
Ya, sebelum meraih spiritual happiness ada tahapan yang dilalui, salah satunya adalah emotional happiness. Yaitu, bagaimana kita mampu untuk selalu melihat sisi baik dari setiap situasi yang terjadi dalam kehidupan.
“Juga menyadari apa yang harus diperbaiki karena tidak ada satu pun yang sempurna dalam hidup, kecuali Sang Pencipta. Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari berbagai kejadian yang dialami serta berusaha untuk mencari alternatif jalan keluar dan melakukan perubahan yang baik, Kata Hanny yang meraih Certified Organizational Coach dari University British Columbia (UBC) Vancouver BC.
Karena itulah, Ramadan sebetulnya momen yang baik untuk menumbuhkanemotional dan spiritual happiness secara bersamaan. Bagaimana cara mengasah emotional happiness? Berikut di antaranya
:
*Anak usia balita:
- Orangtua berperan sebagai “comforter” atau pelindung bagi anak. Untuk anak usia ini, berikan kenyamanan dan keamanan tanpa perlu banyak bertanya, penuhi kebutuhan fisik, juga emosinya.
- Hindari “time out” karena hal ini tidak memberikan dampak positif terhadap perkembangan anak.
- Pahami emosi negative. Ajarkan anak bahwa kita boleh merasakan emosi negatif dan berusaha untuk memahami artinya.
- Ajarkan anak untuk menunda keinginan atau “delay gratification”, tidak selalu keinginan anak untuk dipenuhi segera. Biarkan dia menunggu sebentar 2-3 menit.
*Anak Usia SD:
- Orangtua berperan sebagai “educator” pendidik, trainer, selalu berikan dua pilihan kepada anak dan biarkan anak memilih sehingga anak belajar untuk tanggung jawab.
- Hindari menghukum anak dan ajarkan logical/rational consequences atau tanyakan apa yang harus dilakukan oleh anak sebagai substitusi dari “hukuman”
- Biarkan anak belajar dari kesalahan dan ajarkan anak untuk melihat sisi baik dan apa yang bisa dilakukan untuk menjadi lebih baik.
- Ajarkan anak untuk selalu bersyukur setiap bangun, mau makan dan juga ketika mendapatkan segala sesuatu harus selalu berterima kasih.
Ramadan juga merupakan momen yang baik untuk menumbuhkan spiritual happiness dengan upaya berikut:
- Berbagi dengan mereka yang membutuhkan, dimulai dengan berbagi kepada orang-orang yang dekat dengan kita. Misal, asisten rumah tangga atau keluarga yang kurang beruntung di lingkungan sekitar rumah.
- Disiplin untuk bangun sahur dan makan makanan bergizi dan berusaha untuk menahan/mengelola keinginan untuk makan di siang hari dan sebagainya.
- Ajarkan anak nilai-nilai yang bisa diambil dari puasa, merasakan bagaimana mereka yang makan hanya sekali dalam sehari bisa menahan lapar dan sebagainya.
- Ajarkan anak selalu bersyukur ketika bisa berbuka dengan makanan yang bergizi dan enak.
- Ajarkan anak untuk mengelola emosi dengan baik ketika marah, kecewa dan sebagainya,. Di bulan Ramadan mereka harus bisa menerima dengan baik tanpa menyalahkan orang lain. Ajak anak untuk mencari penyebab dan lakukan usaha yang dimulai dari diri sendiri.
Memang, untuk mempertahankan spiritual happiness butuh usaha yang terus-menerus. Sama seperti kita harus makan makanan bergizi dan berolah raga 30 menit per hari minimal 3 kali seminggu. Usaha yang harus dilakukan adalah, selalu berusaha untuk melihat sisi baik, positif dan selalu kembalikan segala kejadian dan hasil dari suatu peristiwa kepada Allah Ta’ala.***
0 Comments