Rasa peduli memang tidak muncul tiba-tiba dalam diri seseorang. Akan tetapi, kepedulian itu harus ditanamkan dan dipupuk sejak dini.
Menurut Hanny Muchtar Darta, PSYCH-K Practitioner, Parenting & Organizational Coach dari Radani Center Jakarta, kepedulian adalah sikap atau perilaku positif untuk membantu pihak lain agar merasa lebih baik.
“Sikap peduli ini didasari dan dikembangkan dari kemampuannya untuk berempati yang merupakan bagian dari kecerdasan emosi. Nah, kecerdasan emosi merupakan dasar/ landasan /elemen penting dalam mengembangkan kepedulian anak,”paparnya.
Agar anak memiliki keahlian berempati maka ia harus mampu memerhatikan, memahami dan menghargai apa yang sedang dirasakan/dialami orang lain. Empati belum tentu peduli. Agar empati bisa berkembang menjadi sikap peduli butuh stimulasi dari orangtua dan pendidik yang berkesinambungan, konsisten dilakukan dan penuh kesabaran.
“Peduli merupakan kelanjutan dari empati yang mendorong seseorang untuk bersikap positif atau memberikan manfaat/meningkatkan kualitas hidup orang lain, bisa dalam bentuk bantuan tenaga, pemikiran, waktu, materi dan emosi. Nah, untuk memiliki sikap peduli, seseorang harus mempunyai kemampuan untuk merasakan, mendengar, bertanya dengan tepat dan bebas dari prasangka atau asumsi.”
Ajarkan Dulu Empati
Maka sebelum memiliki perilaku peduli, ajarkan anak kemampuan berempati sedini mungkin. Pemahaman dan kemampuan ini merupakan hasil dari beragam kemampuan sosial dan emosional yang bisa dikembangkan sejak tahun pertama kehidupan anak.
Beragam penelitian menunjukkan, anak usia 6 bulan sudah tahu mana sikap baik dan buruk dan anak usia 18 bulan sudah bisa menunjukkan sikap peduli dengan memberi bantuan, misal mengambilkan buku yang jatuh.
Membangun hubungan yang kuat, nyaman, penuh kasih sayang dengan anak merupakan landasan utama dari membangun empati. Anak merasa diterima, dipahami dan disayang. Anak juga melihat orangtua atau orang terdekat sebagai panduan sosial (social referencing).
Misal, ketika ada tamu ke rumah, bagaimana orangtua berinteraksi dengan tamu akan memengaruhi bagaimana si kecil yang berusia 6 bulan menanggapi tamu itu. Ketika orangtua bersikap ramah dan baik maka anak akan merasa hal yang sama dan bersikap nyaman.
Kemudian, anak usia 18-24 bulan sudah memiliki perasaan, pemikirian, dan keinginan. Tugas orangtualah untuk terus membangun kesadaran dan pemahaman akan hal ini. “Orangtua dan pendidik harus sabar dalam mengembangkan kemampuan empati agar anak bisa memiliki perilaku peduli. Anak menjadikan orangtua sebagai patokannya untuk bertindak.”
Biasanya anak mulai memahami dan mampu berempati pada usia 8-9 tahun. Jika kemampuan mental dan emotional state ini distimulasi terus maka akan menjadi dasar untuk mengembangkan perilaku peduli yang bisa berkembang ketika berusia kelas 3 SD.
Segudang Manfaat
Lalu, apa manfaatnya bila kita mengasah kepedulian anak? Anak yang peduli akan:
- Berusaha bertanya apa yang diinginkan dan dirasakan orang lain
- Mampu mendengar dengan lebih baik;
- Mampu memerhatikan pihak lain juga lingkungan;
- Mampu berbagi sehingga membuat orang merasa senang;
- Bersedia membantu pihak lain sehingga meringankan beban;
- Bersikap baik, saling menghargai dan menghormati, saling mendukung untuk suatu hal yang membawa kebaikan;
- Bisa membangun hubungan baik dengan pihak lain dan selalu berusaha bertindak baik;
Selain itu, manfaat lainnya adalah kehidupan menjadi lebih baik, merasa nyaman, saling menghargai perbedaan, memahami permasalahan yang sebenarnya dan bisa mengetahui penyebab serta menemukan solusi yang membawa kebaikan bagi semua pihak.
“Sikap peduli tidak saja membuat anak merasa happy,pihak lain happy juga. Bayangkan juga dunia yang indah ini diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap peduli?”
Berikut ini hal-hal yang perlu dilakukan orangtua:
1.Orangtua peduli, anak peduli:
Dimulai dari orangtua yang selalu berusaha menunjukkan sikap peduli kepada anak dan keluarga. Hal ini kita tunjukkan dengan sikap berusaha memahami perasaan, sikap, menghargai usaha anak, kepribadian anak dan apa yang anak sukai dan tidak sukai tanpa melakukan dugaan atau asumsi yang sebenarnya tidak kita tahu. Sehingga anak merasa diterima apa adanya dan merasa dihargai. Jika anak merasa dihargai dan kebutuhan emosinya terpenuhi, dia pun akan mampu menghargai orang lain. Upaya ini akan mengembangkan sikap peduli anak.
2.Jadikan sikap peduli sesama sebagai prioritas utama:
Terkadang orangtua selalu berkata bahwa yang penting kamu happy, anak Bunda happy. Saat ini usahakan untuk menyampaikan: Yang penting anak Bunda anak baik dan merasa happy kalau bisa berbuat baik. Ajarkan anak bahwa selalu ada dua pilihan yaitu baik dan sangat baik. Sangat baik kalau semua pihak happy.
Biasakan untuk berdialog dengan anak tentang apa yang ia lakukan di sekolah. Bukan hanya tentang pelajaran, tetapi apa yang ia lakukan ketika bermain, apa yang membuatnyahappy dan tidak happy. Kalau tidak happy apa yang ia lakukan dsb.
Dengan melakukan hal di atas, anak diasah kecerdasan emosinya dan dilatih untuk terbiasa menyampaikan perasaan tanpa takut disalahkan. Usahakan orangtua untuk menjadi pendengar yang baik. Tarik napas dan keluarkan napas supaya bisa tetap tenang. Ketika kita mendengar dan menarik napas maka kita akan bisa lebih memahami perasaan terdalam anak dengan baik dan pesan yang disampaikan yang tidak terucapkan dengan kata-kata anak.
3.Mulailah pesan yang disampaikan dari sisi “Saya”:
Pesan dari sisi “saya” adalah menyampaikan kepada anak bahwa ini yang Bunda rasakan dan pikirkan tanpa menyalahkan anak. Misal: “Bunda merasa sakit kaki karena tadi pas Adek marah nendang Bunda. Kemudian sampaikan:” Lain kali kalau marah Bunda harap Adek tidak nendang Bunda lagi. Marah boleh tetapi tetap harus baik sama Bunda, karena Bunda sayang banget sama Adek.”
4.Validasi perasaan negatif anak:
Kebanyakan orangtua ingin anaknya happy. Hanya sebaiknya kita lakukan dengan cara yang baik, tidak memperbaiki perasaan anak yang sedang kecewa, sedih, tertekan dan marah. Misalnya melarang untuk merasakan emosi negatif tersebut tanpa digali apa penyebabnya. Setiap emosi yang dirasakan, ada pikiran yang mengikutinya.
Misal, perasaan sedih karena apa yang anak inginkan belum bisa didapatkan. Jadi ketika anak sedih hindari untuk memperbaiki, misal:”Sudah jangan sedih kan ada Bunda sudah pulang kantor seharusnya Adek senang dong!” Seharusnya: “Bunda ngerti Ade sedih, apa yang membuat Ade sedih, apakah karena Bunda larang untuk nonton teve/main ipad?” Dengan melakukan validasi, Anda membantu anak untuk bisa mengelola emosi negatif dengan baik.
Usahakan menyampaikan ulang apa yang anak jelaskan atau paraphrase, misal:”Dari yang tadi Ade sampaikan, Kiran teman Ade itu nunggu lama tapi belum dijemput terus nangis ya? Apa betul pemahaman Bunda?”
Selalu untuk menggali satu langkah sebelumnya misal:”Sebelum Kiran nunggu jemputan lama, apa yang kalian berdua lakukan?” Karena mungkin saja ada sesuatu yang anak belum ceritakan karena merasa takut. Hindari untuk marah. Ingat dari setiap kejadian selalu ada hal yang bisa anak pelajari. Marah bukan cara baik dalam mengajarkan kecerdasan emosi anak.
- Bermain “Pretend play” pura-pura/role play/bermain peran:
Misal ,dengan boneka Anda jadi teman anak dan jadi teman merebut mainan, atau di taman bermain tidak mau main ayunan bergantian. Tanyakan bagaimana perasaan Ade ketika teman Ade ingin terus main ayunan? Apa yang bisa dilakukan supaya teman Ade mau bergantian main sama Ade?
Tiga hal penting lain:
- Pamit dengan baik ketika mau berpergian:
Sangat penting untuk para orangtua yang bekerja untuk membangun perasaan nyaman ketika meninggalkan anak di rumah misal dengan pengasuh kepercayaan Anda. Ketika Anda yakin bahwa anak ada di tangan yang tepat dan nyaman maka anak pun merasa tenang. Berusaha untuk selalu pamit ketika Anda pergi kemana pun tanpa anak hindari pergi diam-diam karena alasan tidak tega meninggalkan anak. Hal ini sangat tidak baik sekali untuk perkembangan anak. Sampaikan dengan tegas dan penuh kasih sayang kalau Anda harus pergi bekerja dan adik di rumah sama Oma atau mbak yang sayang sama adik dan Bunda nanti telepon dsb.
- Pikirkan kembali untuk langsung meminta anak “minta maaf”:
Ketika ada konflik misalnya anak yang merebut mainan atau jatuh karena didorong, kebanyakan orangtua atau pendidik langsung meminta anak untuk minta maaf tanpa membahas apa yang dirasakan anak yang menjadi korban misalnya. Meminta maaf merupakan sikap baik hanya perlu diubah cara kita mengajarkan ke anak karena meminta maaf saja tidak cukup . Mendidik anak untuk belajar memperbaiki diri dan berempati. Hal ini bisa dilakukan jika anak mengetahui dampak dari sikap yang ia lakukan. Misal, ketika Sandra merebut mainan Siera, Anda harus mengajak Sandra untuk fokus pada eksperesi muka Siera, Sandra lihat muka Siera sepertinya Siera merasa sedih yah? Apa yang bisa Sandra lakukan supaya Siera merasa happy lagi? Stimulasi ini akan mengajarkan anak bahwa ada hubungan antara sikap/actionyang ia lakukan dengan reaksi dari apa yang ia lakukan atau dampaknya. Setelah tahap ini dirasakan cukup dan anak memahami dengan baik kalau Siera sedih dan berusaha untuk membantunya agar merasa lebih nyaman, barulah ajarkan anak untuk selalu minta maaf.
Sampaikan ragam emosi:
Biasakan Anda untuk menyampaikan ragam emosi dengan menggunakan perasaan. Misal, Bunda merasa sedih bukan Bunda sedih dan Ade sepertinya merasa kecewa bukan Ade kecewa yah? Karena perasaan itu bagian dari sistem tubuh kita bagian dari otak kita dan antara otak dan tubuh saling berhubungan. Biasakan baik Anda maupun anak untuk selalu mampu mengekspresikan emosi baik negatif maupun positif. Misal:”Bunda sedang merasa stres karena minggu ini ada tiga dead line yang harus Bunda selesaikan dan Bunda harus bisa mengerjakan tepat waktu dan sekarang Bunda mau jalan kaki dulu biar bisa menenangkan perasaan Bunda”
Dampak bila ada kurang kepedulian:
- Anak akan bersikap kasar dan menjadi destruktif karena emosi negatif anak tidak terlatih untuk dipahami atau tidak dilakukan validasi dan perasaan anak selalu diperbaiki oleh orangtua;
- Ketika emosi negative tidak dipahami maka emosi akan tersimpan di dalam fisik dan jiwa anak. Hal ini akan menganggu perilaku anak atau menghambat perkembangan fisik dan emosi;
- Menurunkan daya tahan tubuh anak;
- Anak menjadi tidak bisa bekerja sama dengan baik;
- Mudah dipengaruhi orang lain karena ingin dirinya diterima oleh lingkungan misal jadi ikut-ikutan tawuran;
- Bisa menjadi pelaku dan korban bully;
- Bersikap egois, mau menang sendiri dan mau menang apapun caranya yang penting menang.***
Ilustrasi: Pexels/Juan Pablo Serrano Arenas
0 Comments