MYHOMMY.ID – Parents, setiap anak memiliki kepribadian dan cara belajar yang berbeda. Ada yang gigih dan selalu bersemangat mengejar tujuannya, tetapi ada juga yang mudah merasa putus asa dan cepat menyerah saat menghadapi kesulitan.
Anak yang mudah menyerah cenderung merasa frustrasi ketika menghadapi tantangan, yang bisa mempengaruhi perkembangan mereka, baik secara akademis maupun emosional. Sebagai orang tua, kita bisa memainkan peran yang sangat penting dalam membantu anak mengatasi rasa putus asa ini dan belajar bagaimana menghadapi tantangan dengan semangat yang lebih besar.
Pahami Alasan di Balik Rasa Menyerah Anak
Sebelum mencari cara untuk menyemangati anak, penting bagi orang tua untuk memahami mengapa anak merasa mudah menyerah. Beberapa faktor yang bisa menyebabkan anak cepat putus asa antara lain:
a. Takut Gagal
Anak yang memiliki ketakutan berlebihan terhadap kegagalan cenderung lebih cepat menyerah. Mereka merasa bahwa jika mereka gagal sekali, itu berarti mereka tidak mampu melakukannya.
b. Kurangnya Kepercayaan Diri
Anak yang merasa tidak mampu atau kurang percaya diri sering merasa ragu untuk mencoba hal-hal baru, karena mereka sudah membayangkan kegagalan sejak awal.
c. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan sekitar anak, termasuk keluarga, teman, dan sekolah, dapat mempengaruhi bagaimana anak merespons tantangan. Jika anak merasa tidak mendapat dukungan atau sering diejek, mereka mungkin lebih mudah merasa putus asa.
d. Kurangnya Keterampilan Pemecahan Masalah
Beberapa anak tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah atau tantangan, sehingga mereka merasa kebingungan dan cenderung menyerah. Ini sering terjadi jika anak belum diajarkan untuk merencanakan atau mencari solusi alternatif saat menghadapi kesulitan.
Kenali Ciri-Ciri Anak yang Mudah Menyerah
Setiap anak berbeda, tetapi ada beberapa tanda umum yang bisa menunjukkan bahwa anak mungkin mudah menyerah, di antaranya:
- Frustrasi Cepat. Anak mudah merasa frustasi dan cemas ketika menghadapi tugas yang sulit, lalu berhenti mencoba.
- Menghindari Tantangan. Anak cenderung menghindari aktivitas yang dianggap sulit atau menantang.
- Menggunakan Alasan. Anak seringkali mencari alasan atau menyalahkan faktor luar (seperti “Tidak bisa karena tidak ada waktu” atau “Saya terlalu lelah”) untuk tidak melanjutkan usaha.
- Keterlambatan dalam Percaya Diri. Mereka sulit menerima pujian atau bahkan ketika mereka berhasil, mereka sering merasa tidak puas dengan hasil yang dicapai.
Cara Menyemangati Anak yang Mudah Menyerah
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu anak mengembangkan ketahanan mental dan semangat yang lebih besar dalam menghadapi tantangan.
a. Fokus pada Proses, Bukan Hasil Akhir
Salah satu alasan mengapa anak mudah menyerah adalah karena mereka terlalu fokus pada hasil akhir daripada proses yang mereka jalani. Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan anak untuk menghargai usaha dan proses, bukan hanya hasilnya.
- Berikan pujian untuk usaha. Daripada memuji anak hanya karena memperoleh nilai tinggi atau memenangkan suatu kompetisi, pujilah usaha dan kerja keras mereka dalam belajar atau berlatih.
- Bantu anak menikmati proses. Ajak anak untuk menikmati kegiatan yang mereka lakukan, seperti menggambar, berlatih olahraga, atau menyelesaikan tugas sekolah, tanpa merasa tertekan untuk selalu menghasilkan sesuatu yang sempurna.
b. Ajarkan Pentingnya Kegagalan
Kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Anak yang belajar untuk melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk tumbuh lebih baik akan memiliki ketahanan mental yang lebih kuat. Berikut cara yang dapat dilakukan:
- Berbicara tentang kegagalan dengan cara positif. Ajak anak berbicara tentang pengalaman gagal yang mereka alami. Bantu mereka melihat pelajaran yang bisa dipetik dari kegagalan tersebut dan bagaimana hal itu bisa membantu mereka menjadi lebih baik di masa depan.
- Berikan contoh nyata. Ceritakan pengalaman Anda atau orang terkenal yang pernah gagal namun akhirnya berhasil. Misalnya, berbicara tentang Thomas Edison yang gagal ribuan kali sebelum berhasil menciptakan bola lampu.
Berikan Tantangan yang Sesuai dengan Usia dan Kemampuan
Anak yang mudah menyerah seringkali merasa tidak mampu karena mereka dihadapkan pada tantangan yang terlalu sulit atau tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Berikan mereka tantangan yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka.
- Sesuaikan tingkat kesulitan. Mulailah dengan memberikan tantangan yang mudah dicapai dan secara bertahap tingkatkan kesulitannya seiring dengan perkembangan keterampilan anak.
- Dukung pencapaian kecil. Rayakan setiap pencapaian kecil yang berhasil diraih anak. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri mereka dan mendorong mereka untuk terus mencoba.
d. Ciptakan Lingkungan yang Mendukung
Anak yang merasa didukung oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya cenderung lebih termotivasi untuk bertahan menghadapi tantangan. Berikut cara menciptakan lingkungan yang positif:
- Berikan dukungan emosional. Tunjukkan kepada anak bahwa Anda selalu ada untuk mendukung mereka, baik ketika mereka sukses maupun ketika mereka gagal.
- Hindari kritik yang berlebihan. Kritikan yang berlebihan atau penghinaan dapat membuat anak merasa semakin tidak mampu dan akhirnya menyerah. Alih-alih mengkritik, berikan saran konstruktif yang bisa membantu anak memperbaiki diri.
- Tunjukkan rasa percaya pada kemampuan anak. Anak akan merasa lebih percaya diri jika orang tua mereka menunjukkan keyakinan terhadap kemampuan mereka.
e. Ajarkan Keterampilan Pemecahan Masalah
Anak yang tidak tahu cara mengatasi tantangan dengan efektif sering kali merasa frustrasi dan menyerah. Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah.
- Gunakan metode langkah demi Langkah. Ajarkan anak untuk memecah masalah menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dikelola. Hal ini akan membantu mereka merasa lebih mampu mengatasi masalah.
- Tanyakan solusi mereka. Ketika anak merasa stuck atau frustasi, ajak mereka untuk berpikir tentang cara-cara yang bisa mereka coba untuk mengatasi masalah tersebut.
f. Jadilah Teladan
Anak belajar banyak dari orang tua dan pengasuh mereka. Jika orang tua atau pengasuh menunjukkan ketekunan dan kemampuan untuk menghadapi tantangan, anak akan lebih termotivasi untuk meniru perilaku tersebut.
- Tunjukkan ketekunan. Ketika Anda menghadapi kesulitan atau tantangan, tunjukkan pada anak bagaimana Anda tetap berusaha dan tidak mudah menyerah.
- Berbicara tentang proses belajar. Ceritakan kepada anak tentang bagaimana Anda belajar dari kegagalan dan tetap berusaha untuk memperbaiki diri.
4. Menumbuhkan Mentalitas Pertumbuhan
Mentalitas pertumbuhan adalah keyakinan bahwa kemampuan dan keterampilan dapat berkembang dengan usaha dan latihan. Anak yang memiliki mentalitas pertumbuhan cenderung lebih tahan terhadap kegagalan dan lebih gigih dalam menghadapi tantangan.
- Pujilah upaya dan kemajuan. Fokuskan pujian pada usaha dan kemajuan anak, bukan pada bakat atau hasil instan. Ini akan mengajari anak bahwa kemampuan mereka dapat berkembang seiring waktu dengan latihan.
- Berikan kesempatan untuk belajar. Anak yang diberi kesempatan untuk mencoba hal-hal baru dan belajar dari pengalaman akan merasa lebih percaya diri dan mampu mengatasi kesulitan.
Menyemangati anak yang mudah menyerah membutuhkan waktu, kesabaran, dan pendekatan yang penuh kasih sayang. Dengan memberikan dukungan yang tepat, mengajarkan keterampilan pemecahan masalah, serta menciptakan lingkungan yang positif, orang tua dapat membantu anak mengembangkan ketahanan mental yang kuat dan semangat yang tak mudah padam. Ingatlah bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar, dan setiap tantangan yang dihadapi dengan semangat akan membentuk anak menjadi individu yang lebih kuat, percaya diri, dan siap menghadapi dunia. Allaahu Yubarik Fii.
Ilustrasi: Pexels/juan photo-
Referensi:
- Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House.
- Duckworth, A. L. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. New York: Scribner.
- Haimovitz, K., & Dweck, C. S. (2016). The power of “yet”: Promoting perseverance in children. The Journal of Child and Family Studies, 25(3), 1055–1068.
0 Comments